Seberang Jalan

07.58
Seberang Jalan

       Siang itu berbeda dengan siang kemarin-kemarin. Matahari bersinar gagah diantara kumpulan awan yang berarak di langit biru. Padahal kemarin, sang surya seperti malas berdiri gagah karena mendung lebih banyak menampakkan diri di pelataran langit. Sudah jelas, siang ini panas. Tak terhitung berapa kali aku menyeka dahi yang basah oleh keringat. Sepelemparan batu depanku, mobil-mobil dan motor-motor berlalu-lalang melintasi jalan kota ini. 
       Namaku Dana. Dana Riza Anantyo. Aku melihat lagi ponselku. Tak ada pesan masuk, ataupun missed call. Jam di ponsel menunjukkan angka 14.45. Sebentar lagi waktu Ashar, dan setelah itu aku akan pergi meninggalkan kota ini. Memang aku hanya sejenak disini, untuk menyelesaikan sedikit urusan demi stand kecil-kecilan milikku dan temanku di dekat kampusku, Kedokteran Unsoed Purwokerto. Aku kesini membeli sebuah pan penggorengan, yang empat hari terakhir kami butuhkan karena banyaknya pesanan Takoyaki, makanan khas Jepang yang kami jual.

       Waktu terus berjalan. Aku ragu apakah bisa lebih lama di sini. Ada hal lain yang aku cemaskan selain ketinggalan bus apabila aku terlambat sampai ke terminal sore ini. Sudah berkali-kali angkot itu melintas di seberang jalan. Itu angkot yang harus kunaiki bila aku hendak menuju terminal. Tapi, hingga jam di ponselku menunjukkan 14.55, dimana 20 menit lagi bus menuju Purwokerto akan berangkat, aku masih disini. Seberang jalan angkot tersebut. Menunggu sesuatu. Tidak, kurang tepat. Sebenarnya menunggu seseorang. Aku berdiri di seberang jalan itu. Menunggumu, meski tak tahu kapan kau datang. 
       Sekitar dua jam sebelumnya, kau bertemu denganku di supermarket itu. Seorang gadis, berkerudung biru dengan pakaian berwarna sama namun lebih muda. Awalnya, aku tak yakin itu dirimu, teman sepermainanku saat aku kecil dahulu. Maklum, sudah lebih dari 12 tahun aku tidak bertemu teman-teman saat aku sekolah dasar dulu. Awalnya, kuabaikan saja penglihatanku karena mungkin saja aku salah. Tapi, saat waktu mempertemukan kita di jajaran perabotan masak ini, tak sengaja mata ini bertatapan dengan matamu. Ah, kali ini aku yakin. Ini pasti tidak salah orang. Meski dalam hati masih ada rasa ragu dan takut, kuberanikan diri menyapa.
       “Emm... Assalamu alaikum, permisi Mba’..”
      Gadis berkerudung biru itu menoleh. Heran melihat sosok lelaki tanggung, tinggi cenderung kurus, berkulit agak gelap menyapanya yang sedang memilah-milih teflon mana yang akan dibelinya. Semakin heran kala lelaki tersebut menyebut salam saat menyapanya.
       “Eh, i,iya. Waalaikum salam..” jawabnya.
       Setelah gadis berkerudung biru itu menjawab, sesaat aku terdiam. Maksudnya menunggu kata-kata lain yang meluncur dari mulutnya. Tapi sepertinya ia lebih memilih diam. Aku kembali mengambil inisiatif.
       “Emm.. Mohon maaf, Mba, kalau saya sedikit lancang. Apa betul nama Mba, Mba Astri?”
       Sejenak gadis itu memasang raut wajah sedikit terkejut. Tak lama ia menjawab pertanyaanku.
       “Mmm.. Maaf, mas siapa? Kok bisa tahu nama saya?”
       Seperti mendapat lotre, ternyata tebakanku tepat!
       “Ah! Bener kan! Kirain saya salah. Masa lupa, saya teman SD mu dulu, Dana! Dana yang kerempeng, tinggal depan sekolah!”
       Sejurus kemudian, raut wajah gadis berkerudung biru itu semakin heran. Dahinya berkerut. Matanya lamat-lamat menatapku. Dia juga menatap mataku. Tak lama, raut wajahnya berubah. Terkejut. Matanya seperti mahasiswa yang menemukan uang recehan yang tersembunyi di balik kantong celana saat akhir bulan.
       “Ya Allah, Dana?! Wah, ini kamu? Ya Allah, maaf. Aku lupa. Aku ga’ nyangka bisa ketemu kamu! Ya Allah. Waahh..” jawabnya dengan wajah antusias.
       “Hehehe. Saya juga tadi ragu pas mau ngomong, takut salah orang. Haha.” Jawabku.
        Kemudian kami tertawa sesaat. Astri kemudian berbicara kembali.       
        “Hei, kau banyak berubah. Wah, sudah semakin tinggi saja kau! Haha..”
        Ya benar, aku cukup tinggi. Sekitar 175 cm. Tinggi Astri hanya seukuran daguku.
       “Hahaha. Iya nih, tapi tetep aja kurus. Hehehee. Kau juga banyak berubah. Beda sekali dengan jaman kecil dulu”
       Ya jelaslah berubah. Terakhir saat ia berusia 11 tahun. Pertanyaan yang jelas hanya sekedar basa-basi. Ah, aku memang tidak terlalu berbakat membuat alur percakapan yang menarik di depan wanita.
     “Haha. Aduh, aku masih kaget bisa ketemu kau disini!” katanya sambil tetap memasang raut wajah antusias.
       Sedetik kemudian, matanya melihat tanganku yang menenteng pan takoyaki.
       “Wah, kau beli pan itu? Sudah jago masakkah kau, Dana?” tanyanya heran.
     “Hehe.. sebenarnya tidak. Ini untuk stand jualan di Purwokerto, Tri. Butuh beli baru soalnya kurang.” Jawabku.
       “Oh. Wah, hebat sekali kau jualan, Dan. Di Purwokerto? Kau tinggal di sana sekarang?” tanyanya lagi antusias. Sepertinya dia penasaran denganku. Atau hanya perasaanku saja. Tapi tetap kujawab pertanyaannya.
       “Ya, kecil-kecilan, Tri. Baru buka 5 hari juga kok. Sekarang saya kuliah di Purwokerto. Unsoed.”
       Raut wajah antusiasnya belum berkurang. Sepertinya dia ingin menanyakan banyak hal padaku.
       “Wah.. Ternyata kau kuliah di Purwokerto.. Jurusan apa?”
    “Kedokteran, Alhamdulillah. Sekarang sih udah kelar. Lagi nunggu koas. Praktek di rumah sakit” jawabku.
       “Wah! Kedokteran?! Sudah kelar juga. Hooo...” katanya.
    “Hehe.. Alhamdulillah. Oh, kamu sendiri kuliah dimana?” tanyaku. Tentu saja aku juga ingin tahu tentangnya. Teman kecilku
       “Aku? Aku kuliah di sini, UGM. Psikologi. Lagi nyusun skripsi nih. Ya sambil bantuin ibu masak-masak di rumah. Hehe.” Jawabnya dengan suara yang riang.
       Kemudian kami terus berbincang sambil memilah-milih barang yang akan dibeli. Aku membeli 1 pan takoyaki stainless dan dia membeli 1 teflon dan panci besar. Ternyata, teman kecilku ini sudah banyak berubah. Banyak hal yang baru aku tahu tentangnya. Dia membuka usaha rumah makan dekat rumahnya dengan menjual jamur dan berbagai olahannya. Memang belum terlalu besar, tapi dia merencanakan untuk bisa segera membeli satu tanah dekat kampus UGM untuk membangun rumah makan yang lebih besar. Selain itu, dia hobi menulis. Aku bahkan diminta untuk follow blognya beserta membeli buku pertamanya, buku tentang mengolah jamur menjadi makanan super enak. Untuk permintaan pertama, mungkin bisa kupenuhi. Permintaan kedua, ya entahlah. Soalnya aku tidak jago masak. Bahkan masak mie rebus saja pernah sampai airnya kering.
     Tapi ada hal lain yang menarik darinya. Dia sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik. Periang. Senyumnya manis menawan. Matanya indah. Ah, jika aku ingat aku hanya lelaki biasa dan bukan siapa-siapanya, aku selalu ingin menoleh melihat wajahnya.
       Satu jam berselang, kami sudah keluar dari supermarket.
       “Eh, Dana. Kapan kau pulang?” tanyanya sambil menjinjing barang belanjaannya.
   “Emm.. Sore ini, soalnya barang ini sangat diperlukan buat jualan malam ini.” Jawabku sambil menggerakkan tanganku yang membawa sebuah pan takoyaki.
       “Ah. Cepat sekali. Kau pulang naik apa? Bus?” tanyanya kembali,
       “Yap.” Jawabku pendek.
      Sejenak pemilik wajah cantik itu diam. Kemudian dia membuka dompetnya. Seperti mencari sesuatu. Kartu nama. Kemudian dia menyerahkannya padaku.
      “Ini nomorku. Aku tinggal tidak jauh dari plaza ini. Eh ya, karena kau sudah jauh-jauh kesini, tak mampir dulu untuk istirahat?” Ia menawarkanku untuk datang ke rumahnya.
      Ah, sebenarnya dalam hatiku aku sangat ingin. Tapi aku harus segera kembali ke Purwokerto. Jam di ponselku menunjukkan 14.30.
       “Busku berangkat jam 3 lebih seperempat, Tri. Takut ga sempet nih. Maaf ya.”
       Wajah pemilik kerudung biru itu terlihat sedikit kecewa. 
       “Yaahhh.. Ya udah deh. Oh ya, kamu naik angkot ‘kan ke terminalnya? Kalau gitu, kamu tunggu disini sebentar bisa? Aku mau ngasih sesuatu nih. Kemarin ibuku baru pulang dari Padang. Ah, kalau aku cerita ibu tadi aku ketemu Dana, pasti dia nanya-nanya banyak.” Jawabnya sambil tersenyum riang.
      Ah. Gadis ini memintaku menunggu disini. Waktu pemberangkatan masih 45 menit lagi. Sebenarnya cukup, namun aku takut dijalan macet. Namun, aku tak kuasa mengatakan tidak pada teman kecilku ini.
       “Ya udah deh. Jangan lama ya.” Jawabku pendek sambil tersenyum tipis.
       “Iya deh, Dan. Tunggu ya.” Jawabnya sambil berlari menuju parkiran motor.
     Itulah awal cerita mengapa hingga saat ini, sudah nyaris setengah jam aku berdiri di depan mall ini. Seberang jalan angkot yang harusnya sudah kunaiki itu.Awalnya tak mengapa, karena itu janjiku. Aku sudah berjanji menunggu ia datang. Tapi, semakin ragu karena sisa 15 menit lagi dari waktu keberangkatanku. Pan ini sangat dibutuhkan setidaknya untuk malam ini. Kukirim pesan berkali-kali nomor yang ada di kartu nama itu, tapi ia tak menjawab. Ingin kutelepon, tapi dasar aku sudah gugup duluan dan tidak tahu mau bicara apa. Selain itu, tidak biasa bagiku untuk menelepon wanita selain keluargaku sendiri. 
       Tapi kenyataan berbicara lain. Sepertinya aku harus menyudahi janji ini. Mungkin sekiranya aku harus menyeberang. Melanjutkan langkah. Ah, kalau saja tadi aku menuruti kemauannya untuk mampir ke rumahnya, tak perlu begini bukan? Menunggu lama. Kesal juga akhirnya. Akhirnya kulangkahkan kakiku untuk benar-benar meninggalkan mall ini. Menyeberangi jalan ini, menuju angkot baru yang membawaku ke terminal. Aku harus mengejar mimpiku. Jualan takoyaki ini adalah salah satu mimpiku untuk bisa meringankan beban orang tuaku dalam membiayai kebutuhanku. 
      Aku telah menyeberangi jalan ini. Angkot itu sudah benar-benar di hadapanku. Kini, aku sudah terduduk di bangku dalam angkot itu. Ah, gadis cantik berkerudung biru itu benar-benar sudah kutinggalkan. Sejujurnya aku penasaran apa yang ingin diberikannya padaku. Aku juga merasa bersalah tidak mengirimkan pesan bahwa aku sudah pulang. Tapi yang paling pelik, seperti ada sesuatu yang tertinggal. Entahlah. Pertemuan tadi seperti menyemai benih-benih rasa yang sudah lama terbiasa sendiri
       Ah. Kalian yang mengetahui cerita ini, pastia dari kalian ada yang mengatakan aku pengecut atau terlalu banyak mikir, kenapa tidak datang saja ke rumahnya? Toh beres. Bisa dekat dengan dia, juga ibunya. Tapi tidak semudah itu bagiku, kawan. Aku bukan siapa-siapanya. Hanya lelaki biasa. Bagiku, jika aku benar mencintai seorang gadis, aku tidak ingin bermain-main dalam hubungan tanpa status pasti. Selain itu, aku tak ingin seribu mimpiku (yang salah satunya telah kusebut tadi) hilang seperti debu jalanan ini yang tertiup angin. Sekali lagi, kalaulah memang kita bersama, pasti kembali. Hanya perlu bersabar. Jikapun tidak, waktu atas izinNya akan membawaku ke jalan yang terbaik bagiku. Lagi, aku pun tidak tahu bagaimana dia melihatku. Kita baru bertemu lagi setelah 12 tahun lamanya, dan jelas bisa saja rasa yang tadi itu cuma bunga-bunga pheromon yang jamak muncul di usia awal kepala dua.
       Aku jadi teringat kata-kata dalam buku Tere Liye dan mas Donny Dhirgantoro. Sebenarnya cinta telah memiliki skenario indah untuk masing-masing orang. Hanya saja kadang kita tidak sabaran menjalani adegannya. Bersabarlah dalam diam, atau beranilah dalam mencintai, mencintai dalam keberanian. Dan, sejatinya tidak ada pilihan abu-abu. Aku bukanlah orang yang ahli mencinta. Bukan orang yg telah mengarungi samudra cinta. Tapi aku tahu itu benar.
       Angkot pun bergerak menuju terminal Giwangan.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

2 comments

Write comments
29 Desember 2013 pukul 19.57 delete

bagus ceritanya bro, btw lu tingginya 175? gue 174 niih :D

Reply
avatar
drwriter
AUTHOR
1 Januari 2014 pukul 01.22 delete

makasih bang gusdi,, wah itu tokoh ceritanya yg 175 sob, gue mah... beda2 tipis wkkw

Reply
avatar

Terima kasih sudah membaca artikel ini sampai selesai :) Tinggalkan komentar, saran-saran, kesan dan pesan yang bermanfaat ya!! EmoticonEmoticon