Mereka yang Tak Hanya Bernyanyi Untuk Sekedar Menghibur

00.16 3
Saya penggemar musik. Ratusan, bahkan mungkin ribuan lagu sudah saya dengar. Dari lagu mainstream yang sedang digandrungi, sampai beberapa kecil yang tak banyak diketahui orang lain.

Laiknya karya lainnya, tema yang sering diangkat dan dibawakan dalam sebuah lagu tentu saja tentang cinta. Dari yang menye-menye, mendayu-dayu, manis, menggelora, sampai yang terlalu vulgar.

Sejujurnya, sebagai penikmat musik, saya termasuk yang jenuh melihat genre EDM (Electronic Dance Music) sedang happening banget saat ini. Bagi saya, musik digital takkan pernah lebih baik dari musik orisinal asli suara instrumen. Dari skill, tempo, harmonisasi, kualitas vokal, termasuk salah satu hal yang paling krusial, kedalaman lirik. EDM lebih banyak menonjolkan sisi easy listening, dan melupakan semua konten itu.

Oke, lupakan EDM.

Saya ingin bercerita bahwa beberapa bulan terakhir ini saya sedang amat tertarik kepada beberapa musisi berkelas. 


Berkelas karena mereka hadir di atas panggung, di depan layar kaca dan ponsel, bukan hanya untuk sekedar menghibur. Tetapi juga untuk membangun generasi dan menebar inspirasi. 

Di tengah gempuran pasar pendengar yang hanya mementingkan hiburan semata, kehadiran mereka jadi sebuah oase sejuk bagi penikmat musik yang jenuh dengan tren masa kini seperti saya (dan mungkin juga teman-teman sekalian). Apalagi, buat orang yang demen menulis seperti saya... Jelas masalah lirik takkan saya abaikan begitu saja.

Dalam tulisan ini, saya akan membagikan beberapa grup musik berkualitas dari segi lirik (dan tentu saja musiknya), yang bisa jadi referensi teman-teman untuk membuat tulisan. Mungkin semacam puisi, prosa, atau sekedar buat dikutip untuk di posting ke medsos, dikirim ke si doi, orangtua, maupaun orang-orang spesial di sekitar kalian. 

Mengingat mungkin beberapa readers di sini bukan penggemar musik, maka saya takkan banyak membahas teknis maupun sejarah asal-usul grup musiknya.

NB: Biar lebih asyik, saat saya pinta teman-teman dengarkan lagunya, coba langsung putar dan mainkan!

Sarapan Pertama

16.21 1


"Seharusnya aku datang lebih awal," gumamku saat jarum jam masih menunjuk angka tujuh, namun kafe langganan sarapanku sudah berjubel ramai. Wajar saja, karena selain enak, makanan di sini pun terjangkau.

Sudah tiga menit aku duduk di satu-satunya meja yang tersisa saat itu, belum ada pelayan yang datang untuk mencatat pesanan meski sudah berulang kali aku melambaikan tangan. Aku enggan berteriak memanggil sebab tak ingin menjadi perhatian orang banyak karena suara cemprengku.

Saat hendak mengulangi lambaian ketiga kalinya, tiba-tiba seorang pria mendekatiku setelah sebelumnya ia sempat menoleh kiri-kanan.

"Maaf, boleh saya duduk di sini? Soalnya meja lain sudah penuh."

Aku mengangguk, mengiyakan tanpa bersuara. Meski sebenarnya enggan berbagi meja dengan orang yang tak kukenal. .

"Terima kasih." Pria itu tersenyum lega dan segera duduk serta meletakkan tasnya di samping kursi seberangku.

"Kamu belum pesan?" Aku menggeleng, lagi, tanpa suara.

"Mas! Mas!" Pria itu lantas melambaikan tangan dan berteriak kencang, mengundang perhatian para pengunjung kafe pagi itu. Sial. Aku buru-buru menunduk, menyembunyikan muka.

Tapi tak lama, seorang pelayan datang. "Mau pesan apa, mas dan mbak?"

"Nasi goreng seafood satu!"

Kami tiba-tiba saling bertatapan dengan mata membulat saat bersamaan mengucap pesanan yang sama. Pelayan tersebut tersenyum-senyum melihat kami berdua. .

"Oke. Lalu minumnya?" .

"Susu vanilla hangat satu!" .

Lagi-lagi sama! Ada apa dengan orang depanku ini? Si pelayan sempat tertawa kecil sebelum akhirnya pergi setelah mencatat pesanan.

"Kok kamu pesannya sama sih?" Tak tahan, aku pun menanyakannya.

"Kamu juga. Kok bisa sama?"

Sempat diam sejenak, kami pun tertawa kecil menanggapi peristiwa yang tak biasa itu.

"Namaku Satya. Kamu?"

"Aku Kara."

Tepat hari Senin, empat tahun lalu, itulah pertemuan pertamaku dengan Satya, yang kini sudah menjadi bapak dari dua anak tercinta kami.

Jawaban dari Pertanyaan yang Tak Terjawab

15.39 0


Kita adalah kumpulan dari rasa perih dan sakit yang dulu ditakuti, kumpulan dari segala kesepian mati-matian selalu coba dihindari. 

Tapi saat sabar meminta masa menahbiskan bahwa semuanya telah terlalui, justru itulah yang kini menjadi alasan kita dapat kokoh berdiri.

Kita adalah hasil nyata dari kayuhan-kayuhan doa khusyu, tanpa jemu, yang terus membawa diri menembus kemustahilan. Hingga akhirnya mempertemukan semua ini tepat dalam satu kala.

Namun, jangan dulu jemawa. 

Mungkin bukan doa kita yang diijabah. Tetapi, bisa jadi dari doa mereka yang tak pernah kita sangka. Berbahagia dan bersyukurlah, masih ada yang hendak memberikan sejumput doanya untuk kita.

Kita adalah jawaban dari pertanyaan yang dulu tak pernah terjawab sama sekali.
Jawaban sebuah kebahagiaan hakiki, sebuah pengharapan menghamba pada Ilahi.

Bagi mereka yang sudah membesarkan diri ini, kita adalah jawaban dari kegelisahan yang merantai hati. Karena kita adalah tempat mereka mengikat semua harapan.

Dan kini, saat harus melepaskannya ke hati yang lain, mereka menemukan masing-masing dari kita sebagai jawaban.

Bagiku, kau adalah jawaban yang meyakinkanku untuk menempuh jalan baru. 

Meyakinkanku untuk mendatangi rumahmu.

Meyakinkanku yang masih bergemetar untuk meminta izin bunda dan ayahmu. 

Meyakinkanku bahwa kau orang yang tepat dijadikan sebagai teman saling berbagi sepanjang umurku.

Semoga kau pun begitu.

Karena kita adalah jawaban dari pertanyaan

yang (dulu) tak terjawab dalam benak kita sendiri.

-- Dalam doa, 24 Oktober 2016


Aku Tak Mau Hanya Menjadi Pelangi

14.51 0

Aku suka pelangi. Dan kau juga menyukainya. Kita berdua sering membuat janji bertemu di lapangan kecil itu selepas hujan, meninggalkan semua urusan perkara, hanya untuk melihat tujuh warna memanjang pengusir mendung yang sendu itu.

Karena warnanya yang indah, tak jarang kata pelangi terucap sebagai kiasan. Aku yakin demi menarik perhatianmu, pasti banyak lelaki yang mengatakan: 'Aku ingin menjadi pelangimu' atau 'Aku ingin kau menjadi pelangiku' kepadamu.

Meski aku suka pelangi, tapi aku tak ingin hanya menjadi pelangimu saja. Yang hanya muncul selepas hujan, namun hilang saat mentari kembali berdiri gagah.

Untukmu, aku akan menjadi semua yang ada di langit.


Aku akan menjadi mentari yang menghangatkanmu,
 
menjadi bulan yang akan menerangi jalanmu, 

menjadi hujan yang akan menghapus letih jiwamu,

dan tentu juga menjadi pelangi yang membangkitkanmu setelah mendung.


Aku tahu, tak mudah menjadi seperti itu. Tapi, untukmu yang amat baik dan hampir sempurna, tentu aku pun harus belajar menjadi baik.

Sebab untuk membangun sebuah hubungan membutuhkan dua orang yang solid, yang sama-sama baik.

'Find someone complimentary, not supplementary' (Oprah Winfrey)

REVIVAL (untuk kesekian kalinya)

14.44 0
Demi kemaslahatan peramban yang jarang dipakai karena sekarang sudah sering memakai smartphone, maka BLOG ini akan saya AKTIFKAN kembali!

Isinya mungkin kebanyakan repost dari Instagram. Tapi tak apalah, yang penting berisi.