Review Buku Selena & Nebula : Ketika Ambisi Membutakan Nurani

06.05 0


Sebenarnya saya sudah membaca dua buku spin-off serial Raib dan kawan-kawannya ini sejak bulan lalu. Tapi, kemalasan baru bisa saya hantam tepat saat malam ini, detik terakhir sebelum berakhirnya tenggat lomba resensi. Hahahaha.... (alasan klasik)
Sejujurnya saat mendengar Selena dan Nebula ini rilis, saya tidak terlalu bersemangat menyambutnya seperti 7 buku sebelumnya. Sebab cerita inti Raib dan kawan-kawan sudah selesai di Komet Minor. Tapi, nama Tere Liye bagi saya seperti Kodaline atau The Script. Orang-orang yang sudah pasti karyanya berbobot dan nyaman dinikmati. Ekspektasi itu pun saya dapatkan setelah selesai membaca dua buku ini dalam 2 hari.

Mulai dari buku SELENA. Bercerita tentang sosok Miss Selena yang selama ini familiar sebagai guru Raib, Seli dan Ali. Kehidupan Selena kecil sejujurnya ternyata di luar ekspektasi saya. Dari distrik kejauhan yang tertinggal, penuh kemisinan. Bahkan saya cukup terkejut mengetahui ternyata Selena kecil sama sekali tak setangguh seperti yang terkisah di buku-buku sebelumnya. Meski begitu, tekad dan ambisinya berkuliah di Akademi Bayangan Tingkat Tinggi tak pernah luntur. Kisah hidupnya berubah drastis manakala bertemu dengan Tamus. Ini menjawab rasa penasaran saya tentang hubungan Selena dengan Tamus yang masih abu-abu di buku sebelumnya. 

Fokus kisah di buku ini adalah tentang persahabatan dan kisah kehidupan kuliah Selena dengan dua pelajar yang juga ajaib dan unik, Tazk dan Mata. Tiga pelajar unggulan di angkatan mereka, andalan dan harapan besar dari Master Ox, sang pemimpin akademi.

Keunggulan Tere Liye dalam meramu plot membuat buku ini amat nagih untuk dibaca. Sekali sentuh, akan memaksa pembacanya untuk menghabisinya hingga halaman terakhir. Apa yang saya suka dengan Tere Liye adalah kepiawaiannya membuat perpindahan antar adegan yang mulus dan rapat, serta karakteristik yang unik dan khas. Tazk, si mantan personil boyband (seriously, kepikiran apa buat karakter petarung dari mantan boyband) yang tangguh dan penuh strategi. Selena yang keras kepala, namun pantang menyerah. Serta Mata yang terlihat 'biasa-biasa saja' tapi ternyata penuh kejutan.

Buku ini pace-nya cukup pas. Meski tak banyak konflik besar, namun bisa dipahami karena fokusnya adalah membangun chemistry Selena dengan karakter lain. Juga memberikan pemahaman pada pembaca tentang tujuan hubungan Selena dan Tamus, yaitu Nebula. Pesan terbaik yang bisa diambil dari buku ini adalah kerja keras takkan pernah mengkhianati hasil. Selena membuktikan bahwa meskipun ia memiliki bakat yang bukan main hebatnya, kerja keras serta rasa percaya terhadap semua sahabatnya membuat ia menjadi pelajar yang disegani.

Halaman akhir buku ini, seriously membuat semua pembacanya akan mati penasaran kalau tidak langsung ngacir buka Nebula.

Dalam NEBULA, kisah tiga sekawan Selena, Tazk, dan Mata mulai bergulir ke puncak. Mereka semakin akrab, semakin dekat, hingga akhirnya Selena memberitahukan misinya mencari Cawan Keabadian kepada dua sahabatnya itu, yang akhirnya mereka ketahui berada di klan Nebula. Namun, misi mereka bertiga mencari Nebula seperti tak direstui oleh siapapun. Termasuk Bibi Gill, guru pengintai yang disegani Selena. Tetapi, rasa penasaran yang terlalu kuat membuat tiga sekawan ini tetap berani mencari klan Nebula yang amat sangat sulit dijumpai hingga akhirnya mereka berhasil mendaratkan diri ke klan yang amat jauh itu. 

Buku Nebula ini, mengingatkan saya pada salah satu anekdot yang sering kita dengar (dan mungkin banyak yang mendebatnya, hahaha...) berulang-ulang: "tak ada persahabatan erat laki-laki dan perempuan, kecuali adanya cinta". Masalah cinta ini membuat kisah menjadi rumit. Semakin rumit saat ambisi membumbuinya menjadi semakin pedas.

Poin terpenting di buku Nebula ini adalah ternyata tak mudah menilai sesuatu itu benar atau salah. Pembaca setia serial Raib seketika akan memiliki penilaian berbeda tentang Selena. Bahkan mungkin pembaca tidak bisa tega begitu saja melabeli karakter ini jahat, karakter itu baik. Mereka punya alasan tersendiri yang logis untuk berbuat seperti itu. Tidak hitam dan putih.

Selena yang dibalik ketangguhan tekadnya, ternyata seorang yang amat peragu dan terbutakan oleh ambisi.

Tazk yang dibalik kecerdasan dan kepiawaiannya merancang strategi, ternyata orang yang amat tidak peka dan tak peduli.

Lumpu yang terlihat sebagai sosok pelindung yang kuat dan tegas, ternyata menjadi sosok yang merubah seluruh jalan cerita.

Tere Liye menggarap buku Nebula ini dengan baik. Meskipun saya sudah sedikit memperkirakan arah cerita, tetapi penggarapannya tetap membuat saya merinding dan deg-degan betul saat membacanya. Terutama pertempuran di Nebula. Baku hantamnya ciamik. Detail, menegangkan, dan diakhiri dengan ending yang .... amat menyayat hati. Pengkhianatan yang justru dibalas dengan ketulusan. Ambisi meraih cita yang justru memukul diri kembali ke titik nol.

Buku ini amat sangat layak untuk mengisi hari teman-teman yang masih harus berdiam di rumah karena pandemi. Bagi pembaca setia serial Raib, buku ini akan menjawab pertanyaan tentang siapa Selena dan siapa ibu dan ayah Raib.

Gatel pengen spoiler, wkwkwkw.... Ini bukan spin-off terakhir. Jadi, siap-siap nabung untuk beli TIGA (Ya, tiga coooyy) buku spin-off  berikutnya.

Doku harus diisi lagi ini, mah. Wkwkkw...

"“Dunia ini terkadang tidak terlihat hitam putih seperti yang kita inginkan. Dan dalam ambisi kekuatan, intrik, pertempuran, kita bisa saja tertipu oleh warna asli sesuatu. Bahkan warna diri sendiri pun bisa menipu. Gelap mata. Gelap hati. "


Rate: Selena (3.9/5), Nebula (4.5/5)

Buka Blog Lagi #WritingTherapy

Buka Blog Lagi #WritingTherapy

02.27 0
Saya termasuk orang yang percaya bila menulis adalah salah satu cara yang tepat untuk memulihkan jiwa. Dengan menulis, segala unek-unek akan tersampaikan. Terlepaskan begitu saja.

Kali ini, setelah sekian lama blog ini berteman dengan debu, saya memulainya dengan menjelaskan sedikit terkait diri saya sendiri.

Bukan membanggakan diri (sebab sebenarnya saya tidak merasa sebaik apa yang saya tuliskan berikutnya), beberapa teman dekat menganggap saya adalah orang yang setiakawan. Sering memberikan bantuan kepada teman yang mendapatkan kesulitan.

Hening Bersamamu #PersembahanUntukDia

15.39 0

Apakah kau tahu?

Entah sejak kapan, aku kini selalu tak sabar menanti pagi setiap malam telah tiba.

Menanti saat aku melangkah keluar rumah, lalu bertemu denganmu sekali lagi, untuk hari ini.

Sebab, waktu-waktu bersamamu adalah sebuah anugerah bagiku. Selagi lembaran masih mampu mengukir kisah tentang aku dan kamu.

Mereka yang Tak Hanya Bernyanyi Untuk Sekedar Menghibur

00.16 3
Saya penggemar musik. Ratusan, bahkan mungkin ribuan lagu sudah saya dengar. Dari lagu mainstream yang sedang digandrungi, sampai beberapa kecil yang tak banyak diketahui orang lain.

Laiknya karya lainnya, tema yang sering diangkat dan dibawakan dalam sebuah lagu tentu saja tentang cinta. Dari yang menye-menye, mendayu-dayu, manis, menggelora, sampai yang terlalu vulgar.

Sejujurnya, sebagai penikmat musik, saya termasuk yang jenuh melihat genre EDM (Electronic Dance Music) sedang happening banget saat ini. Bagi saya, musik digital takkan pernah lebih baik dari musik orisinal asli suara instrumen. Dari skill, tempo, harmonisasi, kualitas vokal, termasuk salah satu hal yang paling krusial, kedalaman lirik. EDM lebih banyak menonjolkan sisi easy listening, dan melupakan semua konten itu.

Oke, lupakan EDM.

Saya ingin bercerita bahwa beberapa bulan terakhir ini saya sedang amat tertarik kepada beberapa musisi berkelas. 


Berkelas karena mereka hadir di atas panggung, di depan layar kaca dan ponsel, bukan hanya untuk sekedar menghibur. Tetapi juga untuk membangun generasi dan menebar inspirasi. 

Di tengah gempuran pasar pendengar yang hanya mementingkan hiburan semata, kehadiran mereka jadi sebuah oase sejuk bagi penikmat musik yang jenuh dengan tren masa kini seperti saya (dan mungkin juga teman-teman sekalian). Apalagi, buat orang yang demen menulis seperti saya... Jelas masalah lirik takkan saya abaikan begitu saja.

Dalam tulisan ini, saya akan membagikan beberapa grup musik berkualitas dari segi lirik (dan tentu saja musiknya), yang bisa jadi referensi teman-teman untuk membuat tulisan. Mungkin semacam puisi, prosa, atau sekedar buat dikutip untuk di posting ke medsos, dikirim ke si doi, orangtua, maupaun orang-orang spesial di sekitar kalian. 

Mengingat mungkin beberapa readers di sini bukan penggemar musik, maka saya takkan banyak membahas teknis maupun sejarah asal-usul grup musiknya.

NB: Biar lebih asyik, saat saya pinta teman-teman dengarkan lagunya, coba langsung putar dan mainkan!

Sarapan Pertama

16.21 1


"Seharusnya aku datang lebih awal," gumamku saat jarum jam masih menunjuk angka tujuh, namun kafe langganan sarapanku sudah berjubel ramai. Wajar saja, karena selain enak, makanan di sini pun terjangkau.

Sudah tiga menit aku duduk di satu-satunya meja yang tersisa saat itu, belum ada pelayan yang datang untuk mencatat pesanan meski sudah berulang kali aku melambaikan tangan. Aku enggan berteriak memanggil sebab tak ingin menjadi perhatian orang banyak karena suara cemprengku.

Saat hendak mengulangi lambaian ketiga kalinya, tiba-tiba seorang pria mendekatiku setelah sebelumnya ia sempat menoleh kiri-kanan.

"Maaf, boleh saya duduk di sini? Soalnya meja lain sudah penuh."

Aku mengangguk, mengiyakan tanpa bersuara. Meski sebenarnya enggan berbagi meja dengan orang yang tak kukenal. .

"Terima kasih." Pria itu tersenyum lega dan segera duduk serta meletakkan tasnya di samping kursi seberangku.

"Kamu belum pesan?" Aku menggeleng, lagi, tanpa suara.

"Mas! Mas!" Pria itu lantas melambaikan tangan dan berteriak kencang, mengundang perhatian para pengunjung kafe pagi itu. Sial. Aku buru-buru menunduk, menyembunyikan muka.

Tapi tak lama, seorang pelayan datang. "Mau pesan apa, mas dan mbak?"

"Nasi goreng seafood satu!"

Kami tiba-tiba saling bertatapan dengan mata membulat saat bersamaan mengucap pesanan yang sama. Pelayan tersebut tersenyum-senyum melihat kami berdua. .

"Oke. Lalu minumnya?" .

"Susu vanilla hangat satu!" .

Lagi-lagi sama! Ada apa dengan orang depanku ini? Si pelayan sempat tertawa kecil sebelum akhirnya pergi setelah mencatat pesanan.

"Kok kamu pesannya sama sih?" Tak tahan, aku pun menanyakannya.

"Kamu juga. Kok bisa sama?"

Sempat diam sejenak, kami pun tertawa kecil menanggapi peristiwa yang tak biasa itu.

"Namaku Satya. Kamu?"

"Aku Kara."

Tepat hari Senin, empat tahun lalu, itulah pertemuan pertamaku dengan Satya, yang kini sudah menjadi bapak dari dua anak tercinta kami.

Jawaban dari Pertanyaan yang Tak Terjawab

15.39 0


Kita adalah kumpulan dari rasa perih dan sakit yang dulu ditakuti, kumpulan dari segala kesepian mati-matian selalu coba dihindari. 

Tapi saat sabar meminta masa menahbiskan bahwa semuanya telah terlalui, justru itulah yang kini menjadi alasan kita dapat kokoh berdiri.

Kita adalah hasil nyata dari kayuhan-kayuhan doa khusyu, tanpa jemu, yang terus membawa diri menembus kemustahilan. Hingga akhirnya mempertemukan semua ini tepat dalam satu kala.

Namun, jangan dulu jemawa. 

Mungkin bukan doa kita yang diijabah. Tetapi, bisa jadi dari doa mereka yang tak pernah kita sangka. Berbahagia dan bersyukurlah, masih ada yang hendak memberikan sejumput doanya untuk kita.

Kita adalah jawaban dari pertanyaan yang dulu tak pernah terjawab sama sekali.
Jawaban sebuah kebahagiaan hakiki, sebuah pengharapan menghamba pada Ilahi.

Bagi mereka yang sudah membesarkan diri ini, kita adalah jawaban dari kegelisahan yang merantai hati. Karena kita adalah tempat mereka mengikat semua harapan.

Dan kini, saat harus melepaskannya ke hati yang lain, mereka menemukan masing-masing dari kita sebagai jawaban.

Bagiku, kau adalah jawaban yang meyakinkanku untuk menempuh jalan baru. 

Meyakinkanku untuk mendatangi rumahmu.

Meyakinkanku yang masih bergemetar untuk meminta izin bunda dan ayahmu. 

Meyakinkanku bahwa kau orang yang tepat dijadikan sebagai teman saling berbagi sepanjang umurku.

Semoga kau pun begitu.

Karena kita adalah jawaban dari pertanyaan

yang (dulu) tak terjawab dalam benak kita sendiri.

-- Dalam doa, 24 Oktober 2016


Aku Tak Mau Hanya Menjadi Pelangi

14.51 0

Aku suka pelangi. Dan kau juga menyukainya. Kita berdua sering membuat janji bertemu di lapangan kecil itu selepas hujan, meninggalkan semua urusan perkara, hanya untuk melihat tujuh warna memanjang pengusir mendung yang sendu itu.

Karena warnanya yang indah, tak jarang kata pelangi terucap sebagai kiasan. Aku yakin demi menarik perhatianmu, pasti banyak lelaki yang mengatakan: 'Aku ingin menjadi pelangimu' atau 'Aku ingin kau menjadi pelangiku' kepadamu.

Meski aku suka pelangi, tapi aku tak ingin hanya menjadi pelangimu saja. Yang hanya muncul selepas hujan, namun hilang saat mentari kembali berdiri gagah.

Untukmu, aku akan menjadi semua yang ada di langit.


Aku akan menjadi mentari yang menghangatkanmu,
 
menjadi bulan yang akan menerangi jalanmu, 

menjadi hujan yang akan menghapus letih jiwamu,

dan tentu juga menjadi pelangi yang membangkitkanmu setelah mendung.


Aku tahu, tak mudah menjadi seperti itu. Tapi, untukmu yang amat baik dan hampir sempurna, tentu aku pun harus belajar menjadi baik.

Sebab untuk membangun sebuah hubungan membutuhkan dua orang yang solid, yang sama-sama baik.

'Find someone complimentary, not supplementary' (Oprah Winfrey)

REVIVAL (untuk kesekian kalinya)

14.44 0
Demi kemaslahatan peramban yang jarang dipakai karena sekarang sudah sering memakai smartphone, maka BLOG ini akan saya AKTIFKAN kembali!

Isinya mungkin kebanyakan repost dari Instagram. Tapi tak apalah, yang penting berisi.

Elegi Hujan

16.56 0

"Elegi Hujan"

Nun jauh di sana, kau takkan pernah paham, bahwa aku telah tenggelam dalam berbagai frasa yang tak pernah kau balas sepatah kata saja.

Lalu, hujan malam ini menemani diri mendeklamasikan sebuah elegi, yang terdengar syahdu dalam tiap derai dan melagu lembut menelisik hati yang tersedu.

Jangan. Jangan kalian larang aku mengenang kesenduan yang mungkin lain waktu akan kurindukan. Biarkan aku merasakannya seperti melahap suap demi suap nasi goreng yang penuh kenikmatan.

Perih, terima kasih untukmu karena telah berteman dengan sepi. Kalian bercengkrama ramah di sini, lalu meninggalkan secarik kertas bertuliskan puisi yang berkisah bahwa hati kan bertumbuh saat dirimu memutuskan melepas sauh.

Ya, mungkin dalam legam hitam malam, aku yang tak pernah berhenti mendamba harus lanjut melangkah dalam temaram, mencari secercah cahaya di luar sana.

Karena bisa saja lain waktu ku kembali lagi di hadapmu, kau mulai meragu dengan sikapmu dulu. Kala itu kan kubiarkan kau sendiri, sementara aku terus membangun hati.

Karena bisa saja di lain hari, saat matamu memutuskan menatapku lagi, aku berhasil mengikatkan diriku dalam larik-larik janjimu.

Dan menuliskannya lagi dalam lembar janjiku.

Tak ada salahnya bila harap ini tak kusudahi, bukan? Karena aku pun tak pernah melarangmu untuk berharap kepada siapapun.